Anak Cerdas Itu Bukan yang Harus Bisa Baca di Usia Balita
Anak adalah kebanggaan orang tua. Tak heran orangtua kerap menjejali anak berbagai pendidikan untuk mencetaknya menjadi sosok yang diharapkan. Misalnya saja dengan 'memaksa' anak belajar membaca, menulis, dan berhitung (calistung) sejak dini. Padahal anak yang pintar tidak serta-merta ditandai kemampuan calistung yang dikuasai di usia balita."Beberapa orang tua memaksa anaknya belajar membaca dan berhitung, padahal anaknya masih terlalu kecil. Lalu ketika anaknya sudah bisa membaca di usia 3 tahun, orang tua pun bangga. Padahal membaca itu tidak ada kaitannya dengan kecerdasan. Membaca itu merupakan repetisi. Ada juga orang yang bodoh tapi bisa baca," kata psikolog anak dan remaja, Ratih Zulhaqqi, dalam perbincangan dengan detikHealth dan ditulis pada Selasa (25/11/2014).
Mengarahkan anak untuk suka membaca memang baik, misalnya saja dengan membacakan buku cerita pada anak. Jika anak memang menunjukkan minat yang tinggi untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung, orang tua bisa mulai mengajarinya. Tapi jika anak balita belum punya keinginan untuk belajar membaca atau berhitung, janganlah memaksa karena anak bisa stres dan tertekan karenanya. Ingat, pada saatnya nanti anak akan punya kesiapan sendiri untuk mempelajari hal-hal itu.
Ratih sendiri mengaku beberapa kali bertemu dengan orang tua yang ingin mencetak 'anak super' di bidang akademis. Tak dipungkiri masih banyak orang tua yang bangga saat anaknya masuk sekolah dasar (SD) di usia yang begitu muda. Jika anaknya mampu dan bahagia menjalani fase itu, tentu tidak masalah. Lain soal jika anak menjadi begitu tertekan sehingga malah menimbulkan gangguan psikologis.
"Setiap anak itu berbeda, meskipun mereka lahir dari orang tua yang sama. Mungkin kakak-kakaknya bisa masuk SD umur 4 tahun. Lalu kuliah umur 15 tahun, S2 umur 20 tahun. Tapi bisa jadi adiknya tidak seperti itu. Kalau menemukan yang seperti ini, orang tua jangan lalu marah. Kalau usianya belum mencukupi, masih ingin bermain, biarkan bermain dulu," papar Ratih.
Konflik orang tua dengan anak kerap kali muncul akibat anak terlalu difokuskan pada akademis terus-menerus. Misalnya saja anak dimasukkan ke sekolah full day yang mana lebih banyak belajar di dalam kelas ketimbang waktu bermain.
"Apalagi ditambah les ini itu seperti les berhitung, les bahasa ini itu, yang akhirnya waktu bermain anak jadi sangat berkurang. Sukses itu nggak semata-mata dilihat dari sukses akademis lho," ucap Ratih.
(Sumber: DetikHealth )